Dalam kehidupan Batak Toba istilah yang dikenal dengan Dalihan Na Tolu yang dinilai sebagai suatu sistem dimana ada persyaratan fungsional yang harus dipenuhi dengan tujuan melakukan adaptasi, memelihara pola kehidupan masyarakat dan mempertahankan
kesatuan masyarakat Batak Toba, disamping itu dengan adanya Dalihan Na Tolu ini diharapkan adanya keseimbangan. Hal ini terwujud dalam umpama: “Somba Marhula-hula” (Hormat Pada Hula-Hula), “Manat mardongan sabutuha” (berlaku hati – hati kepada saudara semarga), “Elek Marboru” (Berlaku sayang pada Boru)
(Tampubolon, 1960:46).
Dalam hidup perantauan kita tidak hanya bertemu dengan masyarakat yang berasal dari suku yang sama, tetapi kita bertemu dengan masyarakat lain dari suku dan ras yang berbeda. Jika dikaitkan dengan perkawinan maka ada hal–hal yang harus di perhatikan.
Dalam kehidupan orang Batak Toba, kecenderungan untuk memilih
pasangan suami atau
pasangan istri yang berasal dari kalangan atau suku yang sama adalah harapan
setiap orang
Batak Toba yang mau menikah
Timbul permasalahan baru yang terjadi dimana ketika seorang Batak Toba mendapatkan pasangan yang berasal dari luar suku Batak Toba atau menjalin suatu hubungan dengan seseorang yang berbeda etnis (bukan dari suku Batak Toba) maka yang terjadi
selanjutnya adalah seorang Batak Toba tersebut kemudian hendak serius menikah dengan pasangannya yang berasal dari Non Batak. Adat yang kian berkembang menjadikan pasangannya yang non Batak Toba tersebut diberikan marga melalui serangkaian upacara
adat, supaya apa yang diharapkan bisa terwujud. Disamping
itu pasangan yang non Batak
tersebut akan mendapatkan pengakuan di dalam keluarga dan adat serta posisi dalam Dalihan Na Tolu, jika tidak diberikan marga kepada pasangan yang non Batak tersebut maka Ia tidak
akan diakui didalam adat (meskipun didalam keluarga diterima) dan juga tidak mendapat
posisi hak dan kewajiban
Pemberian marga dalam adat Batak Toba tentu saja tidak hanya saat pernikahan, melainkan ketika seseorang memiliki hubungan baik dengan teman atau sahabat, maka orang
tersebut dapat di ‘naturalisasikan’ menjadi seorang yang bermarga. Proses pemberian marga itu sendiri melewati upacara adat khusus dan hukumnya (orang yang diberi marga) adalah sama kuat keanggotaannyaberdasar ‘pertalian darah’.